Rabu, 02 April 2014

Dia Yang Spesial


Kuhapus air mata yang dengan begitu derasnya mengalir di pipi ini. Tak peduli kalau air mata ini akan habis. Aku benar-benar sedang sendu. Sedih dengan keputusan yang baru saja aku terima darinya. Mengapa harus begini jadinya?

“Assalamu’alaikum wr. wb. Khairunnisa yang semoga senantiasa berada dalam kasih sayang Allah, ada hal yang harus aku sampaikan padamu. Ini tentang hubungan kita. Selama ini aku tak tahu bahwa ternyata, apa yang kita lakukan itu dilarang Allah. Hubungan yang kita jalin itu tak pernah diajarkan Islam. Islam tak mengenal pacaran. Dan bahwasannya pacaran termasuk aktifitas taqrabuzzina (mendekati zina) yang diharamkan Allah. Aku kaget waktu pertama mendengarnya, ukhti. Tak terima dengan yang baru saja aku tahu. Aku berfikir bagaimana dengan hubungan kita selama ini? Aku merasa tak mungkin memutuskan ukhti padahal aku merasa sangat mencintai. Tapi, perasaan takut dibenci Allah, takut siksa Allah. Aku takut dosa. Ukhti, dengan berbagai pertimbangan itulah aku memutuskan, sebaiknya hubungan kita harus segera diakhiri. Jangan bersedih ukhti. Karena alasan aku mengakhiri hubungan kita, bukan karena apapun kecuali karena keinginan aku untuk taat pada semua aturan-Nya. Termasuk larangan-Nya tentang pacaran. Jika kita berjodoh, maka kita pasti dapat bertemu lagi. Dalam ikatan yang lebih suci, yang lebih diridhai. Wasaalamu’alaikum wr. wb.”
Kubaca berulang WhatApps darinya. Takut ada kalimat yang tak kufahami. Mungkin ini bukan berarti kita putus. Mungkin ini hanya menyamakan persepsi. Tapi untuk saat ini, aku hanya tahu kalau kata-kata yang ia kirimkan untukku adalah berarti kita tak mungkin bisa berangkat ke sekolah bareng-bareng lagi, tak mungkin ada tawa canda berbagi bahagia di kelas lagi, tak akan ada rayuan-rayuan gombal yang senantiasa menjadi wallpaper kehidupanku yang setiap harinya selalu berubah-ubah tapi tetap indah, tak akan ada lagi malam mingguan yang selalu diwarnai suasana romantis, tak akan ada lagi… Aku sangat mencintainya.
Dia sangat spesial. Lelaki idamanku. Dia memperlakukan aku bagai seperti seorang putri. Kata teman-teman, aku dan dia pasangan yang serasi. Pasangan yang selalu bikin iri siapapun yang melihatnya. Tapi semuanya berakhir untuk hari ini. Aku jadi tak semangat pergi ke sekolah. Karena biasanya, ia senantiasa menjemputku menggunakan motor miliknya. Tapi sekarang, aku harus rela jalan kaki menuju jalan raya, dan menggunakan angkot untuk mencapai sekolah.
Di sekolah…
“Hai Cha,” sapa teman satu bangku denganku, Nia.
“Hai,” jawabku pendek.
“Cha, ini ada titipan dari yayangmu.” Yayang? Maksudnya Imran? Bukankah dia sudah?, Kuperhatikan bungkusan yang terbalut kertas kado itu dengan rapi, bungkusan yang aku belum tahu isinya. Penasaran sih… Tapi aku tak berniat membukanya disini. Nanti saja ah di rumah.
Selama di sekolah, Imran memang jadi tak seperti dulu yang selalu mendekatiku hampir setiap jam kosong dari pelajaran. Tapi sekarang, ia hanya sibuk membaca buku. Meskipun begitu, ia tetap mau bertegur sapa denganku. Terkadang, hanya bertukar senyuman. Sama layaknya dia memperlakukan gadis yang lain.
Sepulang ke rumah, aku langsung bergegas ke kamar, tak sabar ingin membuka bungkusan hadiah darinya. Kerudung. Ya! Isinya kerudung! Aku terharu, apa maksudnya? Kubuka ada lipatan kertas, yang mungkin ada tulisan yang menjelaskan maksud dia memberi hadiah ini padaku.
“Assalamu’alaikum wr. wb. Khairunnisa yang semoga senantiasa ada dalam lindungan-Nya. Jangan tersinggung dengan hadiah yang baru saja ukhti terima. Aku tahu, memang sulit untuk bisa melupakan apa yang selama ini pernah kita lalui. Tapi itu tak boleh dibiarkan. Aku ingin, dengan kerudung itu, ukhti bisa menutup mahkota terindah dalam dirimu. Maafkan karena selama ini aku sempat memegang mahkota itu, yang sebenarnya belum layak untuk aku sentuh. Tidak pula untuk lelaki lain. Aku tidak memaksa. Karena aku bukan siapa-siapa ukhti. Aku hanya teman sekelas yang peduli dan ingin ukhti terlindung dari lelaki- lekaki yang hanya melihat wanita dari paras luarnya saja. Wassalamu’alaikum wr. wb.”
Aku menghapus air mata ini. Dia, masih peduli sama aku. Aku disuruh pakai kerudung. Ah, apa aku siap? Tapi, apa aku pakai kerudung, karena memang disuruh olehnya? Atau karena disuruh oleh Allah? Aku takut salah niat. Tak apa, aku bulatkan niat. Aku mau pakai kerudung. Bukan karena disuruh dia. Tapi karena diperintah Allah. Aku sudah tau dari dulu. Tapi aku belum pernah berniat melaksanakannya hingga ia mengingatkan aku akan hal ini.
Hari-hari berlalu seperti biasa, meski perasaan padanya belum sirna. Aku berharap, dia akan menjadi Imamku kelak. Karena hanya dia yang mampu memperkukan aku dengan baik. Hanya dia yang mapu membimbingku untuk menjadi lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar